JAKARTA, Arraahmahnews.com
– Kita patut bangga memiliki ulama pakar tafsir Al-Qur’an terkemuka
alumnus Al-Azhar Mesir. Ia tak lain adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab.
Selama bulan Ramadan kemarin, setiap hari menjelang imsak dan berbuka
puasa ia tampil di saluran televisi swasta untuk menerangkan isi
kandungan Al-Qur’an. Buku biografinya berjudul Cahaya, Cinta dan Canda M
Quraish Shihab baru di-launching di Jakarta pada Rabu 8 Juli 2015.
Selain itu, Pak Quraish juga kerap
mengisi ceramah agama di berbagai masjid. Penulis pernah mengikuti
ceramahnya beberapa hari yang lalu. Awalnya, penulis mengira bahwa
penyusun Tafsir Al-Mishbah itu akan menerangkan tafsir Al-Qur’an
sebagaimana di layar kaca, ternyata tidak. Dengan sangat memukau, mantan
menteri agama RI itu mengemukakan pandangannya terkait tema yang sedang
hit belakangan ini, yaitu “Islam Nusantara”.
Menurut Pak
Quraish, istilah “Islam Nusantara” bisa saja diperselisihkan. Terlepas
setuju atau tidaknya dengan istilah tersebut, ia lebih terfokus pada
substansi. Islam sebagai substansi ajaran. Islam pertama turun di Makkah
lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-daerah lain, Negara Yaman,
Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan seluruh dunia. Islam yang
menyebar itu bertemu dengan budaya setempat. Pada mulanya, Islam di
Makkah bertemu dengan budaya Makkah dan sekitarnya. Akulturasi antara
budaya dan agama ini—sebagaimana di tempat lain kemudian—oleh Islam
dibagi menjadi tiga.
Pertama, adakalanya
Islam menolak budaya setempat. Pak Quraish mencontohkan budaya
perkawinan di Makkah. Kala itu ada banyak cara seseorang menikah. Salah
satunya, terlebih dahulu perempuan berhubungan seks dengan 10 laki-laki
lalu kalau hamil, si perempuan bebas memilih satu dari mereka sebagai
suaminya. Ada kalanya juga dengan cara perzinaan yang diterima
masyarakat kala itu. Dan, ada lagi pernikahan melalui lamaran,
pembayaran mahar, persetujuan dua keluarga. Nah, yang terakhir inilah
yang disetujui Islam, sedangkan budaya perkawinan lainnya ditolak. Ini
pula yang dipraktikkan Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah RA.
Kedua, Islam merevisi
budaya yang telah ada. Lebih lanjut, Pak Quraish memberi contoh, sejak
dahulu sebelum Islam orang Makkah sudah melakukan thawaf (ritual
mengelilingi Kakbah). Namun, kaum perempuan ketika thawaf tanpa busana.
Alasan mereka karena harus suci, kalau mengenakan pakaian bisa jadi
tidak suci, maka mereka menghadap Tuhannya dengan apa adanya alias
“telanjang”. Kemudian Islam datang tetap mentradisikan thawaf akan
tetapi merevisinya dengan harus berpakaian suci dan bersih, serta ada
pakaian ihram bagi yang menjalankan haji dan umrah.
Ketiga, Islam hadir
menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya.
Seperti budaya pakaian orang-orang Arab, yang lelaki mengenakan jubah
dan perempuan berjilbab. Oleh Islam budaya ini diterima.
Alhasil, kesimpulannya ialah jika ada budaya yang bertentangan dengan Islam maka ditolak atau direvisi, dan jika sejalan maka diterima. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya. “Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam,” tutur Pak Qurasih.
Melihat pemaparan Pak Quraish ini kita
bisa menilai, jika memang ada budaya di bumi Nusantara yang bertentangan
dengan Islam maka dengan tegas kita harus menolaknya seperti memuja
pohon dan benda keramat, atau meluruskannya seperti tradisi sedekah bumi
yang semula bertujuan menyajikan sesajen untuk para danyang diubah
menjadi ritual tasyakuran dan sedekah fakir miskin. Dan, jika ada budaya
yang sesuai dengan syariat Islam maka kita terima dengan lapang dada,
seperti ziarah kubur dalam rangka mendoakan si mayit, meneladaninya
serta dzikrul maut (mengingat mati). Inilah wajah Islam Nusantara.
Jilbab dan Langgam Jawa
Ada hal yang menarik dalam ceramah Pak
Quraish itu. Beberapa jamaah mengkritisi pemikiran Pak Quraish terkait
jilbab dan membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa, seperti yang terjadi
di Istana Negara tak lama ini.
Menanggapi hal itu, Pak Quraish balik
bertanya, “Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim
Asy’ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya
dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut,
atau pakai tapi sebagian. Begitulah istri-istri para kiai besar kita.
Apa kira-kira mereka tidak tahu hukumnya wanita berjilbab? Pasti tahu.
Tapi mengapa mereka tidak menyuruh istri-istrinya pakai jilbab?”
Kritikan mengenai jilbab bagi ayah Najwa
Shihab itu bukan hal yang baru. Pada tahun 2009, dalam sebuah talkshow
bertajuk Lebaran bersama Keluarga Shihab di sebuah saluran televisi, Pak
Quraish mengemukakan pendapatnya yang dinilai cukup kontroversial. Ia
juga menulis buku tentang pendapatnya itu dengan judul Jilbab, Pakaian
Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendikiawan
Kontemporer.
Sebagaimana diketahui, soal pakaian
wanita muslimah, para ulama berbeda pendapat setidaknya ada tiga
pandangan. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti
ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup
dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada
pendapat yang terakhir.
Seorang pakar tafsir Al-Qur’an di Jawa
Timur, KH A Musta’in Syafi’i pernah menulis artikel menarik tentang hal
ini. Ia menuturkan, memang jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah
ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik
pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan
memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau
tutup aurat itu. “Apakah pendapat Pak Quraish itu jawaban nurani
keagamaanya atau sekedar membela diri?” ungkapnya.
Pak Quraish tak pernah merasa bosan
menanggapi pertanyaan seputar jilbab, bahkan sesudah melampaui tiga
dekade, ketika ia dicap sebagai cendekiawan yang membolehkan wanita
muslimah tak berjilbab. Jika ada waktu luang, ia dengan senang hati
memenuhi undangan diskusi atau seminar seputar jilbab. “Dan, pendapat
saya seputar itu tak berubah, atau belum berubah,” tegasnya dalam buku
Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab (hal.255).
Mengenai membaca Al-Qur’an dengan langgam
Jawa, Pak Quraish berpandangan boleh. Menurutnya, membaca Al-Qur’an
boleh pakai lagu mana saja asal huruf dan tajwidnya benar. “Anda boleh
pakai langgam Jawa, Sunda, sedangkan saya pakai langgam Bugis misalnya,
silakan saja karena itu yang Anda anggap enak dan sedap didengar orang,”
paparnya. ( Baca Penjelasan Qurais Shihab tentang Langgam Jawa dalam Membaca al-Qur’an)
Rahmat Bukan Laknat
Sebagian hasil ceramah Pak Quraish di
atas penulis share di media sosial Facebook. Banyak tanggapan pro dan
kontra terkait hal itu. Seorang teman yang kini sedang study di Al-Azhar
berkomentar, “Quraish Shihab habis dibantai ketika di Mesir. Tak usah
dibanggakan, ngatur anak sendiri aja nggak becus. Kecerdasan seseorang
diukur bukan dari cara dia lolos dari perdebatan. Dia pandai di depan
orang awam belum tentu lolos debat dengan sesama ulama apalagi di depan
Allah. Beragamalah yang benar sesuai tuntunan Rosul. Ahmad Dahlan dan
Hasyim Asy’ari keduanya bukanlah Rosul”. ( Baca ISLAM NUSANTARA RAHMATAN LIL ALAMIN BUKAN LAKNATAN LIL ALAMIN )
Maka dengan berusaha santun meredam emosi
penulis menanggapi; (1) Saya dan kami semua tetap membanggakan Pak
Quraish, ahli tafsir negeri ini. Masalah dibantai karena pendapat itu
wajar. Ia sudah berijtihad, bukankah orang yang berijtihad kala benar
dapat dua pahala dan kala salah dapat satu pahala. Beliau banyak
jasanya, bayangkan ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya diterjemah-ditafsiri.
Mengapa hanya karena segelintir pendapatnya yang berbeda dengan kita
lantas dimusuhi, dibenci? Kalau pun Anda membenci ya bencilah
pendapatnya yang itu saja, bukan semua pendapatnya, apalagi orangnya.
Tuhan melarang kita saling benci. (2) Nggak becus membina anak? Ingat
Pak Quraish manusia biasa. Jangankan dia, anak Nabi Nuh AS saja tidak
beriman, itu sederajat nabi. Justru kalau Pak Quraish selalu benar itu
tidak wajar, bisa jadi beliau malaikat bukan manusia? intermezoo (3)
Kita tidak mungkin bisa kenal Rasul SAW tanpa bantuan ulama-ulama kita.
Toh, Nabi bersabda ulama adalah pewarisnya. Contoh mudahnya, kita tidak
mungkin bisa berhaji-umrah tanpa bimbingan ketua rombongan, kalau
berangkat sendiri bisa-bisa nyasar dan salah ritual.
Salah seorang famili Pak Quraish, Amna
Alatas, menuturkan kepada penulis “Ami (demikian dia menyebut Pak
Quraish) memang sepertinya sudah kebal dengan komentar-komentar miring
tentang dirinya. Taushiyah Ami bukan untuk semua kalangan, banyak orang
yang belum bisa terima karena tidak tahu persis esensinya. Kalau diambil
sepotong-potong tanpa penjelasan selanjutnya memang artinya bisa jadi
kontroversi”.
Di negeri kita tampaknya memang sering
terjadi perbedaan pendapat dalam keislaman, mulai hal kecil sampai
besar, termasuk istilah “Islam Nusantara” yang digaungkan oleh Nahdlatul
Ulama dan istilah “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah. Belum lagi,
ormas-ormas lain di luar keduanya.
Maka, sebagaimana Pak Quraish, kita
sepakat tidak perlu berkutat pada istilah, namun lebih pada substansi.
Dengan demikian, umat Islam di negeri ini akan lebih saling menerima,
dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan laknat. Wallahu A’lam.
(ARN/Nu.or.id)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar