Minggu, 12 Juli 2015
Iran, Syiah dan Fitnah-fitnah Murahan Itu
By Ismail Amin
Sejak 2007 saya berada di Iran. Dipertengahan tahun itu saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Qom. Bukan tanpa informasi. Saya justru mendapat bekal, Iran itu negeri Syiah. Syiah itu sesat bahkan bukan bagian dari Islam. Mereka punya Al-Qur'an yang berbeda dengan yang dibaca kaum muslimin dinegeri muslim lain di dunia. Sehari sebelum berangkat, Ust. Said Abdushshamad tokoh yang getol mengkampanyekan gerakan anti Syiah di Makassar menemuiku. Sangat kebetulan, saudara kandung beliau, bertetanggaan dengan rumah ibuku di Makassar. Mungkin beliau tahu informasi rencana kepergianku ke Iran dari Puang Tia, saudara perempuannya itu. Diapun menjejaliku dengan nasehat untuk waspada terhadap ajaran Syiah. Saya cukup mengiyakan saja. Setiba di Iran, yang disampaikan hampir semuanya berkebalikan. Saya melihat Iran negara yang Islami, justru sangat Islami. Tidak ada satupun perempuan yang bebas keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, dan hampir semuanya berwarna hitam.
Dimanapun aku mampir shalat berjama'ah, masjid-masjid nyaris penuh. Kompleks Haram dijantung kota Qom, tempat dimakamkannya Sayyidah Fatimah Maksumah sa adik kandung Imam Ridha as terbuka 24 jam. Dan peziarah selalu berdatangan tanpa henti. Aktivitas Islami tidak pernah tidak terlihat dikompleks itu. Ada yang mengaji, shalat, membentuk kelompok-kelompok kecil untuk membahas masalah agama, atau sekedar bercengkrama dengan keluarga. Anak-anak kecil bebas lari berkeliaran. Setelah berkeluarga, sayapun selalu membawa istri dan kedua anakku ditempat itu selepas maghrib dan pulang kerumah menjelang subuh. Yang menarik, dan menurut saya, ini nilai lebihnya Haram itu, tersedia posko-posko tanya jawab dan diskusi agama. Sebut saja seperti ruang pengaduan di gereja. Bukan untuk membeli surat pengampunan dosa. Sama sekali bukan. Melainkan untuk bertanya masalah agama: aqidah, akhlak dan fiqh serta konsultasi keluarga. Semua ada posko khususnya. Termasuk posko khusus mengecek benar tidaknya bacaan dalam shalat. Yang melayani adalah pakar-pakar Islam dibidangnya. Saya sering mampir bertanya masalah aqidah. Mereka menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan.
Disepanjang jalan, terpampang papan-papan reklame yang bertuliskan pesan-pesan Islami dan baliho-baliho besar gambar Ayatullah plus informasi jadwal pengajiannya (bukan baliho kampanye politik). Di baliho itu tertulis, hari ini kelas tafsir, besoknya kelas akhlak, lusanya kelas fiqh di sini dan disitu. Tidak hanya itu ceramah para Ayatullah itu disiarkan di tivi-tivi secara langsung bahkan lewat radio. Esoknya sudah tersedia cd-cd rekamannya di kios-kios CD, dan selalu laku keras. Warga Iran memang pendengar yang baik. Mereka betah mendengar ceramah ataupun pidato-pidato politik berjam-jam. Momentum shalat Jum'at dimanfaatkan pemerintah Iran untuk menyampaikan pesan-pesan politik. 2-3 jam sebelum khutbah Jum'at, jama'ah Jum'at dijejali orasi politik satu dua tokoh aktivis, kebanyakannya menceritakan kondisi dunia Islam, dan selalu terdengar slogan perlawanan terhadap AS dan Israel. Di mimbar Jum'at bahkan ditulis, AS letaknya dibawah kaki kami. Kalau pidatonya membakar, jama'ah serentak berdiri, mengepalkan tangan sembari meneriakkan yel-yel dukungan terhadap pemimpin mereka dan kecaman terhadap AS. Persis situasi demonstrasi di jalan-jalan. Dengan kondisi seperti itu, sangat ganjil kalau sampai ada yang mengantuk. Bagi yang sibuk dan tidak sempat membaca Koran tiap hari, cukup mendengarkan pidato-pidato tersebut, ia akan paham apa yang terjadi selama sepekan itu. Karena itu, rakyat Iran tidak mudah terpengaruh propaganda murahan dari media-media asing. Mereka mandiri disegala hal, ekonomi, keamanan, budaya, sosial dan politik.
Masjid-masjid di Qom, tidak terlalu besar, tapi lapang dan nyaman bagi jama'ah. Terdapat beberapa kursi, buat mereka yang kesulitan shalat dengan duduk melantai. Terdapat bantal sandaran, buat para orangtua lanjut usia untuk menyandarkan tubuhnya saat mendengarkan ceramah atau sekedar mengaji. Dan dihari-hari tertentu, sambil dengar ceramah kita bisa menikmati segelas susu dan 1-2 biji kurma yang disediakan gratis pengurus masjid. Setelah shalat, remaja masjid akan membagikan Al-Qur'an, hampir disemua masjid ada program membaca al-Qur'an satu-dua halaman berjama'ah. Dipimpin qari-qari yang bacaannya sangat merdu. Di Tv ada saluran khusus menyiarkan program-program Qur'ani. Semua acara serba Qur'ani. Kelas tafsir, kelas ulumul Qur'an. Bincang-bincang Al-Qur'an menjawab problem keseharian, termasuk menyiarkan profil-profil para penghafal Al-Qur'an. Iran kaya dengan hafiz Al-Qur'an. Mulai dari usia sekolah dasar, remaja sampai usia dewasa. Saya pernah mewancarai beberapa remaja Iran yang hafal Al-Qur'an. Mulai dari Ali Amini yang telah menghafal Qur'an di usia 8 tahun sampai Mujtaba Karsenasi yang menghafal 30 juz al-Qur'an diusia 15 tahun. Mereka adalah penerus dari Husan Tabatabai, Doktor Cilik Penghafal Qur'an, yang dikenal sebagai mukjizat abad 20 karena memiliki penguasaan dan pengetahuan Al-Qur'an yang mengagumkan, sampai mendapat gelar doctor honoris causa bidang studi Al-Qur'an. Wawancara saya itu dimuat dalam buku Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik yang kususun bersama bu Dina Sulaeman dan suaminya, diterbitkan Pustaka Iiman pertengahan tahun 2011.
Toko-toko buku jumlahnya hampir berimbang dengan toko kelontong. Di tengah kota, hampir disetiap lorong ada toko buku. Bukan hanya buku-buku karya ulama Syiah namun juga kitab-kitab ulama Sunni. Diperpustakaan pun demikian. Meski berbeda, orang-orang syiah tidak fobia terhadap karya-karya ulama sunni. Hal yang berbeda dari mereka yang menyebut syiah itu sesat. Bisa jadi bahkan melihat langsung buku-buku syiah saja mereka tidak pernah.
Mahasiswa Indonesia di Iran, tidak semuanya Syiah. Ada juga yang Sunni. Mereka tersebar di Teheran, Ghorghon dan Esfahan. Untuk menepis fitnah, di Iran warga Sunni dibunuhi, disiksa dan mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah Iran yang Syiah, saya mewancarai teman asal Indonesia yang belajar di Universitas agama yang bermazhab Sunni. Namanya Syarif Hidayatullah dan wawancara itu dimuat di ABNA. Dari lisannya, ia menepis tudingan dan fitnah tidak bertanggungjawab itu.
Pemerintah Iran gemar menyelenggarakan event-event internasional. Konferensi Mahdawiyat, konferensi ulama Islam, konferensi pemuda Islam, konferensi perempuan Islam, MTQ Internasional dan Pameran kitab Internasional yang melibatkan banyak negara muslim. Karena itu, banyak tokoh-tokoh nasional kita yang mengunjungi Iran sebagai delegasi Indonesia dalam event-event tersebut. Selama di Iran, setidaknya saya sudah bertemu dengan DR. Amin Rais (tokoh Muhammadiyah), Prof. Quraish Shihab (mantan menteri agama dan mantan ketua MUI), Dr. Umar Shihab (ketua MUI Pusat) dan Muh. Maftuh Basyuni (menteri agama kabinet SBY-JK). Tokoh-tokoh nasional itu mengunjungi langsung kampus saya di Qom. Berbincang dan membuka ruang dialog dengan mahasiswa Indonesia di Qom. Tidak ada yang ganjil. Mereka tidak meminta kami waspada dengan Iran dan Syiahnya. Justru meminta semua mahasiswa Indonesia belajar serius dan bisa memanfaatkan ilmunya jika kembali ke tanah air. Dengan adanya event-event internasional yang melibatkan banyak negara muslim tersebut menyodorkan fakta yang tidak terbantahkan, Iran diakui keberadaannya sebagai negara Islam. Terlebih lagi Republik Islam Iran juga memang termasuk dalam anggota OKI, organisasi internasional yang beranggotakan khusus negara-negara yang bermayoritas penduduk muslim. Tidak ada satupun negara yang keberatan dengan penamaan Iran sebagai Republik Islam juga semakin menguatkan fakta itu.
Hubungan mahasiswa Indonesia di Qom dengan KBRI di Teheran pun sangat akrab. Berkali-kali pihak KBRI datang ke Qom mengadakan silaturahmi, buka puasa bersama, atau silaturahmi pasca lebaran. Mengundang untuk menonton timnas PSSI yang bertanding di Teheran. Ataupun pada saat 17 Agustus, upacara bendera dan makan bersama. Saya pernah meraih juara I lomba penulisan karya tulis ilmiah yang diadakan KBRI Teheran. Dan perlu teman-teman tahu, semua staff di KBRI Teheran tidak ada yang Syiah, semuanya Sunni. Kalaupun memang Sunni mendapat tindakan semena-mena dari pemerintah Iran, bahkan katanya di Teheran tidak ada masjid Sunni, staff KBRI yang akan lebih dulu menyampaikan hal itu. Atau minimal kedutaan besar Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dst yang ada di Teheran. Mengapa yang getol menyebarkan propaganda negatif tentang Iran justru media-media yang tidak satupun staff atau wartawannya yang pernah ke Iran?. Guru-guru besar UIN Syarif Hdayatullah Jakarta bahkan sejumlah guru besar UIN Alauddin Makassar pernah ke Iran. Seorang Dosen Unismuh Makassar pernah ke Qom, mengadakan penelitian tesis doktoralnya. Saya yang menemani beliau berkunjung ke Teheran dan Masyhad. Mengajaknya shalat berjama'ah dibeberapa masjid-masjid. Ia shalat sambil bersedekap dengan tenang di tengah-tengah jama'ah Iran yang tidak bersedekap. Saya pernah menyambut tamu dirumah, ketua umum PB HMI, dan delegasi HMI yang ikut dalam konferensi perempuan internasional di Teheran. Kesemua tamu itu sunni. Dan sepulangnya mereka menulis pengalaman mereka selama di Iran dan dimuat dimedia. Tidak ada cerita sunni dibantai, cerita sahabat-sahabat Nabi dilaknat dimimbar-mimbar, tidak ada cerita mereka menemukan Al-Qur'an orang Iran yang berbeda, tidak ada cerita praktik nikah mut'ah yang kebablasan sampai katanya dimasjid-masjid di Iran disediakan ruangan khusus untuk melakukan praktik mut'ah. Yang ada semangat ukhuwah dan persahabatan yang menakjubkan dari orang-orang Iran yang mazhabnya beda.
Saya yang sampai saat ini masih berada di Iran masih sering mendapat kiriman konten-konten yang negatif tentang Iran dan Syiah, sembari menasehatkan saya tentang bahaya Syiah. Saya tegaskan, sekalipun pada akhirnya saya tidak memilih Syiah sebagai mazhabku dalam berIslam, saya tidak akan merusak diri dengan mengkafirkan sesama muslim. Yang mengkafirkan orang-orang Syiah yang juga bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan naik haji. Saya tidak mungkin mau menghina akal sehat dan rasioku dengan lebih mempercayai mereka dari apa yang saya lihat dan rasakan langsung. Kalau Prof. Amin Rais, DR. Diin Syamsuddin, KH. Hasyim Mazudi, Habib Rizieq, Muh. Maftuh Basyuni , guru-guru besar UIN, akdemisi Universitas2 Islam Indonesia yang dengan hanya beberapa jam di Iran telah berkesimpulan untuk tidak sampai mengkafirkan Syiah bagaimana dengan saya yang hidup ditengah-tengah mereka bertahun-tahun, dan melihat langsung amalan-amalan mereka?.
Sayang, bahkan selama Ramadhan inipun mereka kelompok takfiri masih juga getol menyebar berita dusta tentang Iran dan rakyatnya. Kebanyakan yang melakukan itu adalah aktivis dakwah, aktivis ormas Islam, bahkan katanya akademisi di lembaga penelitian. Apa ketika saya kembali ke tanah air, dan kembali ditemui oleh KH. Said Abdushshamad (sekarang sudah Kyai Haji) dan menjelaskan kepada saya tentang Iran seakan lebih tahu dari saya sendiri yang menetap bertahun-tahun di Iran dan mengingatkan tentang kesesatan dan kekafiran Syiah seakan lebih tahu dari saya yang mendengar langsung ceramah-ceramah Syiah dari Ayatullah di Qom, apa saya akan mempercayainya karena beliau Kyai Haji, karena beliau ketua umum LPPI Indonesia Timur dan karena beliau jauh lebih tua dari saya?.
Sangat mengerikan menyerahkan urusan Islam kepada mereka.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar