Rabu, 29 Juli 2015

Sabtu, 25 Juli 2015

Islam Nusantara di Mata Quraish Shihab

JAKARTA, Arraahmahnews.com – Kita patut bangga memiliki ulama pakar tafsir Al-Qur’an terkemuka alumnus Al-Azhar Mesir. Ia tak lain adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Selama bulan Ramadan kemarin, setiap hari menjelang imsak dan berbuka puasa ia tampil di saluran televisi swasta untuk menerangkan isi kandungan Al-Qur’an. Buku biografinya berjudul Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab baru di-launching di Jakarta pada Rabu 8 Juli 2015.
Quraish-Shihab-2
Prof Quraish Shihab
Selain itu, Pak Quraish juga kerap mengisi ceramah agama di berbagai masjid. Penulis pernah mengikuti ceramahnya beberapa hari yang lalu. Awalnya, penulis mengira bahwa penyusun Tafsir Al-Mishbah itu akan menerangkan tafsir Al-Qur’an sebagaimana di layar kaca, ternyata tidak. Dengan sangat memukau, mantan menteri agama RI itu mengemukakan pandangannya terkait tema yang sedang hit belakangan ini, yaitu “Islam Nusantara”.
Menurut Pak Quraish, istilah “Islam Nusantara” bisa saja diperselisihkan. Terlepas setuju atau tidaknya dengan istilah tersebut, ia lebih terfokus pada substansi. Islam sebagai substansi ajaran. Islam pertama turun di Makkah lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-daerah lain, Negara Yaman, Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan seluruh dunia. Islam yang menyebar itu bertemu dengan budaya setempat. Pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya Makkah dan sekitarnya. Akulturasi antara budaya dan agama ini—sebagaimana di tempat lain kemudian—oleh Islam dibagi menjadi tiga.
Pertama, adakalanya Islam menolak budaya setempat. Pak Quraish mencontohkan budaya perkawinan di Makkah. Kala itu ada banyak cara seseorang menikah. Salah satunya, terlebih dahulu perempuan berhubungan seks dengan 10 laki-laki lalu kalau hamil, si perempuan bebas memilih satu dari mereka sebagai suaminya. Ada kalanya juga dengan cara perzinaan yang diterima masyarakat kala itu. Dan, ada lagi pernikahan melalui lamaran, pembayaran mahar, persetujuan dua keluarga. Nah, yang terakhir inilah yang disetujui Islam, sedangkan budaya perkawinan lainnya ditolak. Ini pula yang dipraktikkan Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah RA.
Kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada. Lebih lanjut, Pak Quraish memberi contoh, sejak dahulu sebelum Islam orang Makkah sudah melakukan thawaf (ritual mengelilingi Kakbah). Namun, kaum perempuan ketika thawaf tanpa busana. Alasan mereka karena harus suci, kalau mengenakan pakaian bisa jadi tidak suci, maka mereka menghadap Tuhannya dengan apa adanya alias “telanjang”. Kemudian Islam datang tetap mentradisikan thawaf akan tetapi merevisinya dengan harus berpakaian suci dan bersih, serta ada pakaian ihram bagi yang menjalankan haji dan umrah.
Ketiga, Islam hadir menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya. Seperti budaya pakaian orang-orang Arab, yang lelaki mengenakan jubah dan perempuan berjilbab. Oleh Islam budaya ini diterima.
Alhasil, kesimpulannya ialah jika ada budaya yang bertentangan dengan Islam maka ditolak atau direvisi, dan jika sejalan maka diterima. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya. “Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam,” tutur Pak Qurasih.
Melihat pemaparan Pak Quraish ini kita bisa menilai, jika memang ada budaya di bumi Nusantara yang bertentangan dengan Islam maka dengan tegas kita harus menolaknya seperti memuja pohon dan benda keramat, atau meluruskannya seperti tradisi sedekah bumi yang semula bertujuan menyajikan sesajen untuk para danyang diubah menjadi ritual tasyakuran dan sedekah fakir miskin. Dan, jika ada budaya yang sesuai dengan syariat Islam maka kita terima dengan lapang dada, seperti ziarah kubur dalam rangka mendoakan si mayit, meneladaninya serta dzikrul maut (mengingat mati). Inilah wajah Islam Nusantara.
Jilbab dan Langgam Jawa
Ada hal yang menarik dalam ceramah Pak Quraish itu. Beberapa jamaah mengkritisi pemikiran Pak Quraish terkait jilbab dan membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa, seperti yang terjadi di Istana Negara tak lama ini.
Menanggapi hal itu, Pak Quraish balik bertanya, “Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim Asy’ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian. Begitulah istri-istri para kiai besar kita. Apa kira-kira mereka tidak tahu hukumnya wanita berjilbab? Pasti tahu. Tapi mengapa mereka tidak menyuruh istri-istrinya pakai jilbab?”
Kritikan mengenai jilbab bagi ayah Najwa Shihab itu bukan hal yang baru. Pada tahun 2009, dalam sebuah talkshow bertajuk Lebaran bersama Keluarga Shihab di sebuah saluran televisi, Pak Quraish mengemukakan pendapatnya yang dinilai cukup kontroversial. Ia juga menulis buku tentang pendapatnya itu dengan judul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendikiawan Kontemporer.
Sebagaimana diketahui, soal pakaian wanita muslimah, para ulama berbeda pendapat setidaknya ada tiga pandangan. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada pendapat yang terakhir.
Seorang pakar tafsir Al-Qur’an di Jawa Timur, KH A Musta’in Syafi’i pernah menulis artikel menarik tentang hal ini. Ia menuturkan, memang jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau tutup aurat itu. “Apakah pendapat Pak Quraish itu jawaban nurani keagamaanya atau sekedar membela diri?” ungkapnya.
Pak Quraish tak pernah merasa bosan menanggapi pertanyaan seputar jilbab, bahkan sesudah melampaui tiga dekade, ketika ia dicap sebagai cendekiawan yang membolehkan wanita muslimah tak berjilbab. Jika ada waktu luang, ia dengan senang hati memenuhi undangan diskusi atau seminar seputar jilbab. “Dan, pendapat saya seputar itu tak berubah, atau belum berubah,” tegasnya dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab (hal.255).
Mengenai membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa, Pak Quraish berpandangan boleh. Menurutnya, membaca Al-Qur’an boleh pakai lagu mana saja asal huruf dan tajwidnya benar.  “Anda boleh pakai langgam Jawa, Sunda, sedangkan saya pakai langgam Bugis misalnya, silakan saja karena itu yang Anda anggap enak dan sedap didengar orang,” paparnya. ( Baca Penjelasan Qurais Shihab tentang Langgam Jawa dalam Membaca al-Qur’an)
Rahmat Bukan Laknat
Sebagian hasil ceramah Pak Quraish di atas penulis share di media sosial Facebook. Banyak tanggapan pro dan kontra terkait hal itu. Seorang teman yang kini sedang study di Al-Azhar berkomentar, “Quraish Shihab habis dibantai ketika di Mesir. Tak usah dibanggakan, ngatur anak sendiri aja nggak becus. Kecerdasan seseorang diukur bukan dari cara dia lolos dari perdebatan. Dia pandai di depan orang awam belum tentu lolos debat dengan sesama ulama apalagi di depan Allah. Beragamalah yang benar sesuai tuntunan Rosul. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari keduanya bukanlah Rosul”. ( Baca ISLAM NUSANTARA RAHMATAN LIL ALAMIN BUKAN LAKNATAN LIL ALAMIN )
Maka dengan berusaha santun meredam emosi penulis menanggapi; (1) Saya dan kami semua tetap membanggakan Pak Quraish, ahli tafsir negeri ini. Masalah dibantai karena pendapat itu wajar. Ia sudah berijtihad, bukankah orang yang berijtihad kala benar dapat dua pahala dan kala salah dapat satu pahala. Beliau banyak jasanya, bayangkan ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya diterjemah-ditafsiri. Mengapa hanya karena segelintir pendapatnya yang berbeda dengan kita lantas dimusuhi, dibenci? Kalau pun Anda membenci ya bencilah pendapatnya yang itu saja, bukan semua pendapatnya, apalagi orangnya. Tuhan melarang kita saling benci. (2) Nggak becus membina anak? Ingat Pak Quraish manusia biasa. Jangankan dia, anak Nabi Nuh AS saja tidak beriman, itu sederajat nabi. Justru kalau Pak Quraish selalu benar itu tidak wajar, bisa jadi beliau malaikat bukan manusia? intermezoo (3) Kita tidak mungkin bisa kenal Rasul SAW tanpa bantuan ulama-ulama kita. Toh, Nabi bersabda ulama adalah pewarisnya. Contoh mudahnya, kita tidak mungkin bisa berhaji-umrah tanpa bimbingan ketua rombongan, kalau berangkat sendiri bisa-bisa nyasar dan salah ritual.
Salah seorang famili Pak Quraish, Amna Alatas, menuturkan kepada penulis “Ami (demikian dia menyebut Pak Quraish) memang sepertinya sudah kebal dengan komentar-komentar miring tentang dirinya. Taushiyah Ami bukan untuk semua kalangan, banyak orang yang belum bisa terima karena tidak tahu persis esensinya. Kalau diambil sepotong-potong tanpa penjelasan selanjutnya memang artinya bisa jadi kontroversi”.
Di negeri kita tampaknya memang sering terjadi perbedaan pendapat dalam keislaman, mulai hal kecil sampai besar, termasuk istilah “Islam Nusantara” yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama dan istilah “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah. Belum lagi, ormas-ormas lain di luar keduanya.
Maka, sebagaimana Pak Quraish, kita sepakat tidak perlu berkutat pada istilah, namun lebih pada substansi. Dengan demikian, umat Islam di negeri ini akan lebih saling menerima, dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan laknat. Wallahu A’lam. (ARN/Nu.or.id)

Rabu, 22 Juli 2015

"Surga Itu Nggak Penting..!"

[Think Different Ala Cak Nun]

Emha Ainun Nadjib atau biasa disebut Cak Nun adalah seorang ulama atau kyai yang punya pemikiran-pemikiran nggak umum, kadang kontroversial, berbeda dari kebanyakan ustadz. Tapi tentu saja pemikirannya sangat masuk akal, brilian, otentik dan bisa dipertanggungjawabkan. Ulasan di bawah ini adalah beberapa dari banyak sekali pemikiran beliau yang di anggap sangat dahsyat untuk bahan renungan dan pembelajaran.

Beberapa tahun belakangan marak 'sedekah ajaib' yang sering digiatkan oleh seorang ustad 'nganu'. Cak Nun mengingatkan, "Sedekah itu dalam rangka bersyukur, berbagi rejeki bukan dalam rangka mencari rejeki. Kalau anda mengharapkan kembalian berlipat-lipat dari sedekah, itu bukan sedekah.. tapi dagang!"

Beliau tidak mengecam juga, lha wong taraf imannya masih segitu kok.
Kalau menyedekahkan uang, sepeda motor, mobil, rumah, helikopter atau apa pun.. kasih saja.. titik! Setelah itu jangan berharap apa-apa. Walau kita yakin akan dibalas dengan berlipat ganda tapi ketidaktepatan dalam niat menjadikan sedekah bukan lagi sedekah, melainkan sekedar jual beli. Sedekahnya sudah bagus tapi janji Tuhan jangan dijanjikan oleh manusia..!
Banyak orang beribadah yang masih salah niat. Naik haji biar dagangannya lebih laris. Shalat Duha biar diterima jadi PNS. Ibadah itu dalam rangka bersyukur.. titik!.

Menangislah pada Tuhan tapi bukan berarti jadi cengeng. Nabi dalam shalatnya menangis tapi sebenarnya itu adalah menangisi. Beda antara menangis dan menangisi. Kalau menangis itu kecenderungan untuk dirinya tapi kalau menangisi itu untuk selain dirinya: orang tua, anak, istri, saudara, sahabat dan seterusnya.

Ada seorang pedagang miskin yang dagangannya nggak laku, dia sabar dan ikhlas: "kalau memang saya pantasnya miskin, dagangan saya nggak laku.. saya ikhlas.. manut... yang penting Tuhan ridha sama saya." Malah keikhlasan seperti ini yang langsung dijawab oleh Tuhan dengan rejeki berlimpah yang tak disangka-sangka datangnya.

Tapi kalau kita yang ditimpa sial, dagangan nggak laku, biasanya langsung mewek: "Ya Tuhan kenapa saya kok miskin, dagangan nggak laku, gak iso tuku montor.... aku salah opo se..!???" Waaahh... malaikat langsung gregetan, njundul raimu: "Ohhh..cengeng koen iku!!!"
Iman seseorang memang tidak bisa distandarisasi. Tiap orang mempunyai kapasitas iman yang berbeda. Makanya kalau jadi imam harus paham makmumnya. Makmumnya koboi tapi bacaan imamnya panjang-panjang disamakan dengan anak pesantren. Akhire makmumnya nggerundel, gak ikhlas , “matane…!”

Cak Nun mengingatkan, usahakan berbuat baik jangan sampai orang tahu. Kalau bisa jangan sampai orang tahu kalau kita shalat. Lebih ekstrim lagi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita shalat (walau itu nggak mungkin). Pokoknya lakukan saja apa yang diperintahkan dan jauhi yang dilarang-Nya.. titik!. Itu adalah sebuah bentuk keikhlasan, tanpa pamrih yang luar biasa. Sudah suwung, sudah nggak perduli dengan iming-iming imbalan pahala, yang penting Tuhan ridha, nggak marah sama kita.
Motong rambut atau kuku nggak harus nunggu hari Jum'at. Mau kenthu aja kok ya harus nunggu malam Jum'at. Itulah kita, tarafnya masih kemaruk pahala. Nggak ada pahala, nggak ibadah. Ini jangan diartikan meremehkan Sunnah Rasul. Pikiren dewe..

"Surga itu nggak penting..!" kata Cak Nun suatu kali. Tuhan memberi balasan yang bernama surga dan neraka. Tapi kebanyakan manusia kepincut pada surga. Akhirnya mereka beribadah tidak fokus kepada Tuhan. Kebanyakan kita beribadah karena ingin surga dan takut pada neraka. Kelak kalau kita berada di surga, bakalan dicueki oleh Tuhan. Karena cuma mencari surga nggak mencari Tuhan. Kalau kita mencari surga belum tentu mendapatkan Tuhan. Tapi kalau kita mencari Tuhan otomatis mendapatkan surga. Kalau nggak dikasih surga, terus kita kost dimana???
"Cukup sudah, jangan nambah file di kepalamu tentang surga dan neraka.. fokuskan dirimu pada Tuhan.
Lillahi taala..

Minggu, 12 Juli 2015

Iran, Syiah dan Fitnah-fitnah Murahan Itu


By Ismail Amin
Sejak 2007 saya berada di Iran. Dipertengahan tahun itu saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Qom. Bukan tanpa informasi. Saya justru mendapat bekal, Iran itu negeri Syiah. Syiah itu sesat bahkan bukan bagian dari Islam. Mereka punya Al-Qur'an yang berbeda dengan yang dibaca kaum muslimin dinegeri muslim lain di dunia. Sehari sebelum berangkat, Ust. Said Abdushshamad tokoh yang getol mengkampanyekan gerakan anti Syiah di Makassar menemuiku. Sangat kebetulan, saudara kandung beliau, bertetanggaan dengan rumah ibuku di Makassar. Mungkin beliau tahu informasi rencana kepergianku ke Iran dari Puang Tia, saudara perempuannya itu. Diapun menjejaliku dengan nasehat untuk waspada terhadap ajaran Syiah. Saya cukup mengiyakan saja. Setiba di Iran, yang disampaikan hampir semuanya berkebalikan. Saya melihat Iran negara yang Islami, justru sangat Islami. Tidak ada satupun perempuan yang bebas keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, dan hampir semuanya berwarna hitam.

Dimanapun aku mampir shalat berjama'ah, masjid-masjid nyaris penuh. Kompleks Haram dijantung kota Qom, tempat dimakamkannya Sayyidah Fatimah Maksumah sa adik kandung Imam Ridha as terbuka 24 jam. Dan peziarah selalu berdatangan tanpa henti. Aktivitas Islami tidak pernah tidak terlihat dikompleks itu. Ada yang mengaji, shalat, membentuk kelompok-kelompok kecil untuk membahas masalah agama, atau sekedar bercengkrama dengan keluarga. Anak-anak kecil bebas lari berkeliaran. Setelah berkeluarga, sayapun selalu membawa istri dan kedua anakku ditempat itu selepas maghrib dan pulang kerumah menjelang subuh. Yang menarik, dan menurut saya, ini nilai lebihnya Haram itu, tersedia posko-posko tanya jawab dan diskusi agama. Sebut saja seperti ruang pengaduan di gereja. Bukan untuk membeli surat pengampunan dosa. Sama sekali bukan. Melainkan untuk bertanya masalah agama: aqidah, akhlak dan fiqh serta konsultasi keluarga. Semua ada posko khususnya. Termasuk posko khusus mengecek benar tidaknya bacaan dalam shalat. Yang melayani adalah pakar-pakar Islam dibidangnya. Saya sering mampir bertanya masalah aqidah. Mereka menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan.

Disepanjang jalan, terpampang papan-papan reklame yang bertuliskan pesan-pesan Islami dan baliho-baliho besar gambar Ayatullah plus informasi jadwal pengajiannya (bukan baliho kampanye politik). Di baliho itu tertulis, hari ini kelas tafsir, besoknya kelas akhlak, lusanya kelas fiqh di sini dan disitu. Tidak hanya itu ceramah para Ayatullah itu disiarkan di tivi-tivi secara langsung bahkan lewat radio. Esoknya sudah tersedia cd-cd rekamannya di kios-kios CD, dan selalu laku keras. Warga Iran memang pendengar yang baik. Mereka betah mendengar ceramah ataupun pidato-pidato politik berjam-jam. Momentum shalat Jum'at dimanfaatkan pemerintah Iran untuk menyampaikan pesan-pesan politik. 2-3 jam sebelum khutbah Jum'at, jama'ah Jum'at dijejali orasi politik satu dua tokoh aktivis, kebanyakannya menceritakan kondisi dunia Islam, dan selalu terdengar slogan perlawanan terhadap AS dan Israel. Di mimbar Jum'at bahkan ditulis, AS letaknya dibawah kaki kami. Kalau pidatonya membakar, jama'ah serentak berdiri, mengepalkan tangan sembari meneriakkan yel-yel dukungan terhadap pemimpin mereka dan kecaman terhadap AS. Persis situasi demonstrasi di jalan-jalan. Dengan kondisi seperti itu, sangat ganjil kalau sampai ada yang mengantuk. Bagi yang sibuk dan tidak sempat membaca Koran tiap hari, cukup mendengarkan pidato-pidato tersebut, ia akan paham apa yang terjadi selama sepekan itu. Karena itu, rakyat Iran tidak mudah terpengaruh propaganda murahan dari media-media asing. Mereka mandiri disegala hal, ekonomi, keamanan, budaya, sosial dan politik.

Masjid-masjid di Qom, tidak terlalu besar, tapi lapang dan nyaman bagi jama'ah. Terdapat beberapa kursi, buat mereka yang kesulitan shalat dengan duduk melantai. Terdapat bantal sandaran, buat para orangtua lanjut usia untuk menyandarkan tubuhnya saat mendengarkan ceramah atau sekedar mengaji. Dan dihari-hari tertentu, sambil dengar ceramah kita bisa menikmati segelas susu dan 1-2 biji kurma yang disediakan gratis pengurus masjid. Setelah shalat, remaja masjid akan membagikan Al-Qur'an, hampir disemua masjid ada program membaca al-Qur'an satu-dua halaman berjama'ah. Dipimpin qari-qari yang bacaannya sangat merdu. Di Tv ada saluran khusus menyiarkan program-program Qur'ani. Semua acara serba Qur'ani. Kelas tafsir, kelas ulumul Qur'an. Bincang-bincang Al-Qur'an menjawab problem keseharian, termasuk menyiarkan profil-profil para penghafal Al-Qur'an. Iran kaya dengan hafiz Al-Qur'an. Mulai dari usia sekolah dasar, remaja sampai usia dewasa. Saya pernah mewancarai beberapa remaja Iran yang hafal Al-Qur'an. Mulai dari Ali Amini yang telah menghafal Qur'an di usia 8 tahun sampai Mujtaba Karsenasi yang menghafal 30 juz al-Qur'an diusia 15 tahun. Mereka adalah penerus dari Husan Tabatabai, Doktor Cilik Penghafal Qur'an, yang dikenal sebagai mukjizat abad 20 karena memiliki penguasaan dan pengetahuan Al-Qur'an yang mengagumkan, sampai mendapat gelar doctor honoris causa bidang studi Al-Qur'an. Wawancara saya itu dimuat dalam buku Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik yang kususun bersama bu Dina Sulaeman dan suaminya, diterbitkan Pustaka Iiman pertengahan tahun 2011.

Toko-toko buku jumlahnya hampir berimbang dengan toko kelontong. Di tengah kota, hampir disetiap lorong ada toko buku. Bukan hanya buku-buku karya ulama Syiah namun juga kitab-kitab ulama Sunni. Diperpustakaan pun demikian. Meski berbeda, orang-orang syiah tidak fobia terhadap karya-karya ulama sunni. Hal yang berbeda dari mereka yang menyebut syiah itu sesat. Bisa jadi bahkan melihat langsung buku-buku syiah saja mereka tidak pernah.

Mahasiswa Indonesia di Iran, tidak semuanya Syiah. Ada juga yang Sunni. Mereka tersebar di Teheran, Ghorghon dan Esfahan. Untuk menepis fitnah, di Iran warga Sunni dibunuhi, disiksa dan mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah Iran yang Syiah, saya mewancarai teman asal Indonesia yang belajar di Universitas agama yang bermazhab Sunni. Namanya Syarif Hidayatullah dan wawancara itu dimuat di ABNA. Dari lisannya, ia menepis tudingan dan fitnah tidak bertanggungjawab itu.
Pemerintah Iran gemar menyelenggarakan event-event internasional. Konferensi Mahdawiyat, konferensi ulama Islam, konferensi pemuda Islam, konferensi perempuan Islam, MTQ Internasional dan Pameran kitab Internasional yang melibatkan banyak negara muslim. Karena itu, banyak tokoh-tokoh nasional kita yang mengunjungi Iran sebagai delegasi Indonesia dalam event-event tersebut. Selama di Iran, setidaknya saya sudah bertemu dengan DR. Amin Rais (tokoh Muhammadiyah), Prof. Quraish Shihab (mantan menteri agama dan mantan ketua MUI), Dr. Umar Shihab (ketua MUI Pusat) dan Muh. Maftuh Basyuni (menteri agama kabinet SBY-JK). Tokoh-tokoh nasional itu mengunjungi langsung kampus saya di Qom. Berbincang dan membuka ruang dialog dengan mahasiswa Indonesia di Qom. Tidak ada yang ganjil. Mereka tidak meminta kami waspada dengan Iran dan Syiahnya. Justru meminta semua mahasiswa Indonesia belajar serius dan bisa memanfaatkan ilmunya jika kembali ke tanah air. Dengan adanya event-event internasional yang melibatkan banyak negara muslim tersebut menyodorkan fakta yang tidak terbantahkan, Iran diakui keberadaannya sebagai negara Islam. Terlebih lagi Republik Islam Iran juga memang termasuk dalam anggota OKI, organisasi internasional yang beranggotakan khusus negara-negara yang bermayoritas penduduk muslim. Tidak ada satupun negara yang keberatan dengan penamaan Iran sebagai Republik Islam juga semakin menguatkan fakta itu.

Hubungan mahasiswa Indonesia di Qom dengan KBRI di Teheran pun sangat akrab. Berkali-kali pihak KBRI datang ke Qom mengadakan silaturahmi, buka puasa bersama, atau silaturahmi pasca lebaran. Mengundang untuk menonton timnas PSSI yang bertanding di Teheran. Ataupun pada saat 17 Agustus, upacara bendera dan makan bersama. Saya pernah meraih juara I lomba penulisan karya tulis ilmiah yang diadakan KBRI Teheran. Dan perlu teman-teman tahu, semua staff di KBRI Teheran tidak ada yang Syiah, semuanya Sunni. Kalaupun memang Sunni mendapat tindakan semena-mena dari pemerintah Iran, bahkan katanya di Teheran tidak ada masjid Sunni, staff KBRI yang akan lebih dulu menyampaikan hal itu. Atau minimal kedutaan besar Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dst yang ada di Teheran. Mengapa yang getol menyebarkan propaganda negatif tentang Iran justru media-media yang tidak satupun staff atau wartawannya yang pernah ke Iran?. Guru-guru besar UIN Syarif Hdayatullah Jakarta bahkan sejumlah guru besar UIN Alauddin Makassar pernah ke Iran. Seorang Dosen Unismuh Makassar pernah ke Qom, mengadakan penelitian tesis doktoralnya. Saya yang menemani beliau berkunjung ke Teheran dan Masyhad. Mengajaknya shalat berjama'ah dibeberapa masjid-masjid. Ia shalat sambil bersedekap dengan tenang di tengah-tengah jama'ah Iran yang tidak bersedekap. Saya pernah menyambut tamu dirumah, ketua umum PB HMI, dan delegasi HMI yang ikut dalam konferensi perempuan internasional di Teheran. Kesemua tamu itu sunni. Dan sepulangnya mereka menulis pengalaman mereka selama di Iran dan dimuat dimedia. Tidak ada cerita sunni dibantai, cerita sahabat-sahabat Nabi dilaknat dimimbar-mimbar, tidak ada cerita mereka menemukan Al-Qur'an orang Iran yang berbeda, tidak ada cerita praktik nikah mut'ah yang kebablasan sampai katanya dimasjid-masjid di Iran disediakan ruangan khusus untuk melakukan praktik mut'ah. Yang ada semangat ukhuwah dan persahabatan yang menakjubkan dari orang-orang Iran yang mazhabnya beda.

Saya yang sampai saat ini masih berada di Iran masih sering mendapat kiriman konten-konten yang negatif tentang Iran dan Syiah, sembari menasehatkan saya tentang bahaya Syiah. Saya tegaskan, sekalipun pada akhirnya saya tidak memilih Syiah sebagai mazhabku dalam berIslam, saya tidak akan merusak diri dengan mengkafirkan sesama muslim. Yang mengkafirkan orang-orang Syiah yang juga bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan naik haji. Saya tidak mungkin mau menghina akal sehat dan rasioku dengan lebih mempercayai mereka dari apa yang saya lihat dan rasakan langsung. Kalau Prof. Amin Rais, DR. Diin Syamsuddin, KH. Hasyim Mazudi, Habib Rizieq, Muh. Maftuh Basyuni , guru-guru besar UIN, akdemisi Universitas2 Islam Indonesia yang dengan hanya beberapa jam di Iran telah berkesimpulan untuk tidak sampai mengkafirkan Syiah bagaimana dengan saya yang hidup ditengah-tengah mereka bertahun-tahun, dan melihat langsung amalan-amalan mereka?.

Sayang, bahkan selama Ramadhan inipun mereka kelompok takfiri masih juga getol menyebar berita dusta tentang Iran dan rakyatnya. Kebanyakan yang melakukan itu adalah aktivis dakwah, aktivis ormas Islam, bahkan katanya akademisi di lembaga penelitian. Apa ketika saya kembali ke tanah air, dan kembali ditemui oleh KH. Said Abdushshamad (sekarang sudah Kyai Haji) dan menjelaskan kepada saya tentang Iran seakan lebih tahu dari saya sendiri yang menetap bertahun-tahun di Iran dan mengingatkan tentang kesesatan dan kekafiran Syiah seakan lebih tahu dari saya yang mendengar langsung ceramah-ceramah Syiah dari Ayatullah di Qom, apa saya akan mempercayainya karena beliau Kyai Haji, karena beliau ketua umum LPPI Indonesia Timur dan karena beliau jauh lebih tua dari saya?.
Sangat mengerikan menyerahkan urusan Islam kepada mereka.

Minggu, 05 Juli 2015

GAGAH BERSORBAN TAPI DANGKAL

Alhamdulillah saya terlahir dari orang tua muslim kaum nahdliyin yg menghindari jauh-jauh sifat takfiri (mudah menyatakan bid'ah/dosa/sesarlt kepada saudara sesama Muslim) & menghargai/menghormati umat beragama lain.
GAGAH BERSORBAN TAPI DANGKAL
Asalamualaikum wr..wb.
Ini kisah nyata beberapa tahun yang lalu dari kejadian saat sosok ulama moderat NUsantara Kyai khos NU Gus Mus di kebumen Jawa Tengah. Pada pertemuan para kiyai NU di Kebumen yang juga mengundang kiyai2 di luar NU.
Datang segerombolan orang yang berpakaian ala sorban pangeran diponegoro termasuk kiyainya.
Ketika pada acara tanya jawab buru2 kiyai yang berpakaian Diponegoro tsb mengambil mix dan bicara :
"Walaupun di luar topik pembahasan, mumpung di sini ada Gus Mus saya mo tanya, apa betul Gus Mus dekat dengan Gusdur?"
Gusmus : "Ya kata orang2 sih begitu."
Kiyai : "Kebetulan, tolong sampaikan kepada Gus Dur, kita ini yang dibawah cape2 mau menghabisi orang2 nasroni eeh dia malah datang ke natalan."
Gus Mus : "Nanti dulu, nanti dulu kenapa kalian mau menghabisi itu orang2 nasrani?"
Kiyai : "Loh!? sampean itu gimana!!? mereka itu kan kafir?"
Gusmus : "Jadi kalau kafir harus dihabisi?"
Kiyai : "Iyya dong! yang kafir harus dihabisi!?"
Gus Mus : "Wah !!! untung kanjeng Nabi Muhammad bukan sampean, kalau sampean kita ini masih kafir semua, dulu yang islam cuma kanjeng Nabi tok, kalau ada kafir habisi... ada kafir habisi... ya tinggal Nabi tok, dan untung Wali Songo tidak seperti sampean... kalau seperti sampean kita ini masih hindu budha semuaa..
‪#‎Islam‬ NUsantara

Kamis, 02 Juli 2015

SUMPAHKU: TAK SUDI AKU CIUM TANGANMU GUS DUR

SUMPAHKU: TAK SUDI AKU CIUM TANGANMU GUS DUR
Saat nyantri di sebuah pesantren, bahkan awal-awal kuliah ada 2 hal yang ekstrim dan kaku dalam cara pandang dan sikap keislamanku. Pertama, saya anti Pancasila. Kedua, sumpahku: saya tidak akan cium tangan Gus Dur. Mengapa?Wali ke-10 ini, dulu saat saya baru melek dunia intelektual, bagi saya merusak Islam, agen Yahudi dan pemikirannya aneh, nyeleneh dan bikin pusing. Gak mudeng!
Padahal, secara sosiologi dan budaya saya lahir dari keluarga NU.KH. Zayyadi, kakekku santri Mbah Kholil. Waliyullah dan guru bagi kiai-kiai se-Madura dan Jawa. Satu "kotakan", gubuk dan ruangan dengan KH. As'ad Syamsul Arifin Situbondo.
Bagaimana saya bisa cinta pemikiran keislaman Gus Dur?Bgimna sy batalkan sumpah,bahkan dengan lahap mencium tangannya?
Akhir 99, pasca lepas dari sektariat Golkar di MPR, saya ngajar di SMU Madania Bogor. Sekolah berasrama ini digagas oleh Cak Nur. Di sinilah saya mulai dekat, mengenal, membaca dan sesekali ngobrol bila beliau datang. Secara intens saya diasah oleh suhu Nafis, muridnya dan direktur boarding ini. Sejak itu saya menikmati garis metodologi dan ideologi keislaman, keindonesian dan kemodernan. Akrablah saya dengan istilah inklusivisme, al-hanifiyat al-samhah, toleransi, pluralisme, egaliter, Piagam Madinah dll. Pokoknya wacana Islam kontemporer.
Saat nempuh S-2, saya lebih dekat lagi dengan Cak Nur. Saya jadi staf di Yayasan Wakaf Paramadina. Bahkan diusulkan jadi sekpri beliau. Tak jadi karena hal lain.
Cak Nur dan Gus Dur itu berkeluarga dan berkarib sangat dekat. Itulah penyambung saya ke Gus Dur. Kapan saya awal kali nyium tangan Gus Dur?
Saat ultah Paramadina. Saat itu saya jadi penanggung jawab Klub Kajian Agama (KKA). Rangkaian acaranya,salah satunya bedah buku. Lokasinya di kampus Paramadina. Narsumnya Gus Dur dan Kang Jalal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. Para undangan: ada menteri, pejabat, dosen, para civitas kampus dan jamaah sudah resah. Gus Dur tidak muncul2. Sebagai penanggung jawab acara saya panas dingin. Ketua Yayasan suda gak sabar dan minta tanggung jawabku.
Saya telpon mas Sulaiman, ajudan Gus Dur. Beliau ada di PBNU. Tapi, "Gus Dur tidur mas. Saya tidak berani bangunin", katanya. Waduh, mumet, keringatan dan meriang diriku.
Saya membeku di teras lobby kampus . Sendirian. Lalu saya baca fatihah. "Gus, bangun. Kalau tidak, sungguh saya tidak akan pernah cium tangan jenengan", batinku bicara mengarah ke Gus Dur. Tiba2, Sulaiman telpon. "Gus Dur sudah bangun dan otw ke kampus", infonya.
Tak lebih 15 menit mobilnya sudah tiba di halaman kampus. Saya songsong kursi rodanya. Saya jemput tangannya dan saya cium beberapa kali. "Maafkan saya Gus", kataku. "Tak apa.Kamu kan gak kenal saya saat itu", jawabnya. Lho, ya, Allah, bagaimana ia tahu sumpah kurang ajarku saat masa lalu?!. Aku kangen jenengan Gus. Lahu alfatihah.

Tentang Cak Nun


Tentang Cak Nun Kita
Pada suatu pengajian Cak Nun di Demak, tiba-tiba ada seorang remaja naik ke atas panggung. Dengan sigap, panitia acara lantas mengusir remaja laki-laki gila tersebut, karena panitia dan masyarakat sekitar tahu bahwa remaja laki-laki tersebut memang terkenal gila betulan.
Di saat ribuan orang menganggapnya gila, hanya satu orang yang mau menyapa hatinya. Cak Nun memanggil remaja laki-laki gila tersebut untuk kembali ke atas panggung. Di saat ribuan orang menganggapnya seperti virus penyakit sehingga harus dijauhi, bahkan kalau perlu diludahi kalau nekat mendekat, Cak Nun langsung mendekap tubuh bocah kesepian tersebut.
Bocah tersebut pun sangat kaget, karena di dunia ini masih ada orang yang mau menyapa hatinya, bahkan memeluk tubuhnya. Tanpa ada rasa jijik sedikitpun. Tanpa ada rasa malu sedikitpun. Sosok berbaju putih tersebut justru memeluknya semakin mesra dan menatap ribuan jama’ah sambil tersenyum. Seolah Cak Nun ingin bilang pada masyarakat Demak, “Ini salah satu anakku.”
Remaja laki-laki itu memang bocah kesepian. Namanya Edy Setiawan. Sudah yatim-piatu, dianggap orang gila pula. Hidup sebatang kara di dunia ini. Tidak ada yang mau menjadi temannya. Mungkin kalau ia mendekati teman-teman sebayanya, ia akan dipukuli agar takut mendekat lagi. Mungkin kalau ia duduk-duduk di warung makan, ia akan langsung diberi krupuk dan diusir.
***
Seorang Muhammad Ai(nun) Nadjib memang manusia berlian. Hati beliau bening, mengkristal indah, dan bisa memancarkan cahaya kasih sayang. Meski luar biasa “mahal”, seorang Cak Nun tidak risih bercengkrama dengan rakyat jelata, bahkan mau memeluk orang gila.
Meski diakui kadar intelektualitasnya oleh profesor-profesor dari negara maju di Eropa Barat, Cak Nun mau mendidik orang-orang di perdesaan yang mungkin kebanyakan hanya tamatan wajib belajar 9 tahun. Bercengkrama semalam suntuk. Mendengarkan keluh kesah. Membesarkan hati. Selama 20 tahun keliling Indonesia tanpa henti. Sudah “jalan kaki” ke lebih dari 1.300 desa di 28 provinsi.
Cak Nun tidak mengenal gengsi seperti kebanyakan diri kita. Meski sering keliling dunia di empat benua, bertemu petinggi-petinggi negara dan pemuka agama taraf internasional, beliau mau berteman akrab dengan kuli-kuli gendong di pasar. Meski sahabat seorang raja (Sultan HB X), beliau tetap mau kumpul-kumpul cekakakan dengan para preman dan para tukang becak.
Meski sangat ditakuti Pak SBY yang konon mengaku seorang presiden, beliau mau menerima telepon dari seorang gelandangan. Beliau tidak risih, bahkan bergembira, mendengar “laporan” pemuda pengangguran 35 tahun yang berlagak intelijen tentang situasi demo di depan DPR.
Meski di-kiyai-kan oleh para kiyai, Cak Nun tetap mau mengadakan pengajian khusus untuk para pelacur di beberapa tempat. Tidak pernah memvonis masuk neraka, tapi untuk membesarkan hati. Para pembaca tulisan saya ini yang dari kalangan pesantren pasti akrab dengan dua adagium ini: Kalau tidak bisa mempebaiki, jangan menambah kerusakan. Menghindari mudharat lebih diutamakan daripada mengharapkan manfaat.
Kalau diri kita tidak bisa menolong para pelacur untuk keluar dari lembah hitam, diri kita jangan juga lantas memutus harapan para pelacur dari kasih sayang Allah. Ingin tampak lebih gagah dan lebih suci? Hanya orang yang tidak gagah dan tidak suci yang butuh pengakuan.
Jangankan membutuhkan pengakuan, bahkan beliau senang menutupi aneka kebesaran yang sudah melekat pada dirinya sendiri. Sekalipun keturunan Imam Zahid, tapi tidak mau dipanggil “gus”. Perlu para pembaca tahu, Imam Zahid itu sahabat Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, sama-sama santri kinasihnya Syaihkona Kholil Bangkalan. Tak heran pula Gus Dur sangat menyayangi Cak Nun, demikian pula sebaliknya.
***
Ketika seorang presiden “menasionalisasi” Lumpur Lapindo, bahkan menyebutnya sebagai bencana alam, akhirnya Cak Nun yang pasang badan untuk 11.800 keluarga korban. Cak Nun sendiri yang menelpon Ibu Rosmiyah Bakrie, meminta agar anaknya mau menyantuni puluhan ribu warga Sidoarjo, meski pengadilan telah menyatakan perusahaan anaknya tidak bersalah.
Ketika bentrokan antara perusahaan budidaya udang dengan petambak udang di Tulangbawang sudah memuncak, hingga menewaskan tiga orang dan membuat cukup banyak orang luka-luka, Cak Nun tampil menengahi kedua pihak. Beliau pun meminta diadakannya perubahan paradigma pemerintahan kabupaten Tulangbawang dan pembenahan pada tingkat elit perusahaan. Alhasil, selang beberapa waktu, kedua pihak tersebut tidak hanya rukun, tapi juga semakin sejahtera. Perusahaan budidaya udang semakin laba, para petambak udang semakin sejahtera.
Tentu masih banyak cerita heroik lainnya. Lalu, demi pamrih apakah Cak Nun tampil dimana-mana? Popularitas? Uang?
Jika Anda menganggap perjuangan seorang Muhammad Ainun Nadjib untuk materi dunia, pasti Anda ditertawakan Pak Harto. Sedikit cerita, sejengkel-jengkelnya Pak Harto pada kritikan pedas Cak Nun terkait jalannya Orde Baru, Pak Harto tidak bisa memenjarakan beliau. Pak Harto sangat tahu bahwa beliau tulus orangnya.
Satu-satunya orang yang berani “kurang ajar” pada Pak Harto hanya Cak Nun—semisal lingguh jigang atau berambut gondrong saat di istana—dan Pak Harto tidak bisa marah. Ketika Cak Nun bilang kepada Pak Harto untuk segera mandeg pandhito, Pak Harto hanya diam tersenyum dan mengangguk. Sebab Pak Harto tahu Cak Nun kalau ngomong sesuatu bukan untuk dirinya sendiri. Diiming-imingi saham perusahaan, Cak Nun menolak. Ditawari jabatan menteri pada 1980-an, Cak Nun juga menolak.
Semua perjuangan ikhlas demi rakyat. Orang bisa berbohong dan berhasil membohongi banyak orang, tapi tidak akan bisa bertahun-tahun. Level penipu ulung sekalipun. Sebab manusia digariskan tidak akan tahan menjadi bukan dirinya sendiri lama-lama. Ini rumusnya.
Seorang Muhammad Ainun Nadjib mampu mengayomi rakyat 20 tahun lamanya, tanpa pernah meminta upah seperser pun. Dari 20 tahun lalu hingga detik ini beliau tidak pernah berubah. Selalu mengayomi rakyat.
Ketika dulu masih muda, setelah shalat di mushola, beliau mendapat suatu ilham. Tanpa pikir panjang, beliau segera menelpon saudara-saudaranya di Jombang. Minta dicarikan empat orang yang sangat miskin tapi akhlaknya baik malam itu juga. Sebab besok paginya beliau akan mengirim uang ke Jombang, untuk ongkos naik haji keempat orang tersebut.
Tetap saja begitu hingga sekarang. Beliau tetap sering mengirimkan uang ke banyak orang miskin. Entah untuk ongkos naik haji, entah untuk modal usaha bikin warung kelontong, entah untuk beasiswa, dan sebagainya.
Apakah persediaan uang tersebut ada dengan jalan meminta? Atau mengajukan proposal? Tidak pernah sekalipun.
Dulu Cak Nun pernah akan diberi cek dengan nominal Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) oleh seorang pengusaha, tapi cek tersebut langsung disobek beliau. Sekadar info, menyobek cek itu aslinya tidak apa-apa, karena uangnya tetap utuh di dalam brangkas bank. ”Kalau ketemu saya lagi, mending ditraktir makan saja,” kata beliau sambil tersenyum.
Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menghidupi perut dan idealisme dirinya sendiri. Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menolong orang lain dengan hasil kerja keras dirinya sendiri.
***
Indonesia ibaratnya adalah sebuah kapal yang panjangnya 12,5 kilometer. Kapal raksasa ini mempunyai 39 rusuk. Ada sekitar 15 rusuk yang sudah retak, dan sungguh kapal ini tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, kalau tidak diperbaiki. Apalagi empat dari lima ruangan utama kapal ini sudah hancur.
Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi, yang jelas, suatu hari Indonesia akan mendatangi kesejatian, karena kepalsuan bersifat sementara dan kegelapan bersifat menghancurkan. Indonesia mau tidak mau akan mengikuti kesejatian, sebab hanya kesejatian yang memiliki perspektif masa depan cerah.
Tulisan ini sama sekali bukan untuk me-monumen-kan Muhammad Ainun Nadjib, karena haram hukumnya mabuk pada seseorang. Ketika saya menulis tentang Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, atau yang lainnya, harapan saya adalah untuk dijadikan uswatun hasanah.
Jika kita menjadikan “Cak Nun” sebagai kata kerja yang cair dan dinamis, bukannya sebagai kata benda yang padat dan statis, maka beliau akan bernasib sama dengan Bung Karno dan Gus Dur kelak. Tidak ada manusia yang hidup abadi, tapi dengan suatu mekanisme cinta, beliau akan bisa tetap selalu hidup...di hati kita.
Saya tidak berani berharap apa-apa pada Indonesia. Bangsa ini memang tidak butuh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, maupun Muhammad Ainun Nadjib, karena ketiganya manusia yang agung.
Suatu hari, karena tidak kuat membayar ustadz yang muda, ganteng dan terkenal, akhirnya para TKW di Hong Kong meminta Cak Nun yang datang. Di luar dugaan, Cak Nun hanya mau dengan tiga syarat; (1) Tidak mau dibayar, (2) tidak perlu dijemput di bandara, dan (3) tidak mau tidur di hotel.
Akhirnya, Cak Nun terbang ke Hong Kong dengan kocek sendiri, menuju lokasi naik bus, dan istirahat malam di rumah inap biasa. Ketika ditanya para TKW Hong Kong kenapa sampai berbuat demikian, beliau menjawab, “Aku datang sebagai bapakmu.”
Muhammad Ainun Nadjib. Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan. Pengayom sebuah bangsa yang yatim.